Benarkah Allah Ada Di Langit dan Kafir Bagi Yang Tidak Percaya?
Dakwah.web.id ~ Umat muslim telah sepakat bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kuasa. Ia adalah Dzat yang wujud (ada), serta tidak butuh tempat dan ruang untuk keberadaannya.
Imam al-Haramain atau Abdul Mulk bin Abdillah al-Juwaini as-Syafi'i (478 H) berkata:
"Madzhab pengikut kebenaran seluruhnya meyakini bahwa Allah SWT luhur dari keberpihakan dan pengkhususan terhadap arah".
Asy-Syaikh Fakhrudin ar-Razi (606 H) berkata:
"Konsensus ulama sepakat bahwa Allah SWT tidak dimaknai dengan bertempat, arah, maupun ruang".
Namun entah bagaimana, saat ini bermunculan faham-faham dari golongan kecil yang menyimpang. Yakni faham yang sering menyangkut-pautkan Allah SWT terhadap tempat dan arah. Dan ini jelas merupakan faham yang sesat serta menyesatkan. Terlebih pengikut faham ini berani mengeluarkan pernyataan "barang siapa yang tidak mengatakan Allah SWT ada di langit, maka ia kafir."
Berikut adalah sebagian contoh dan bukti nyata adanya hal tersebut yang diserukan oleh para pengikut faham yang meyakini bahwa Allah SWT tinggal di langit:
#Fatwa Bin Baz al-Wahabi
"Tidak diragukan lagi sesungguhnya orang yang mengingkari bahwa Allah SWT ada di langit maka ia adalah jahmiy yang sesat nan kafir" [Majmu al-Fatawa 9/473]
#Fatwa Shalih al-Fauzan al-Wahabi
Ditulis dalam website pribadinya dibawah judul ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﻠﻮ ﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ :
"Orang yang mengingkari Allah SWT ada di langit maka ia telah membohongkan al-Qur'an dan as-Sunnah serta Ijma muslimin. Jika ia sudah tahu akan hal ini, maka ia kafir karena keingkarannya tersebut. Jika ia bodoh maka ia harus diberi penjelasan, jika keras kepala setelah dijelaskan, maka ia kafir. Wal 'iyadzu billah".
#Fatwa al-Lajnah ad-Daimah as-Sa'udiyyah al-Wahabiyyah
Dikeluarkan oleh orang-orang berikut: Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz al-Wahabi, Wk: Abdul Rozak Afifi al-Wahabi, Anggota: Abdullah bin Ghadyan al-Wahabi:
"Barang siapa yang mengatakan: 'kami tidak berpendapat bahwa Allah SWT ada di atas, di bawah, di kanan, atau di kiri', maka dengan ucapannya ini ia telah melenceng dari apa yang ditunjukan al-Quran dan as-Sunnah serta kesepakatan muslimin dari sejak masa sahabat yang ahli ilmu dan iman. Maka baginya wajib penjelasan akan kebenaran. Jika masih keras kepala, maka ia kafir dan murtad dari agama islam serta tidak sah shalat di belakangnya".
Contoh kecil dari fatwa-fatwa diatas merupakan sesuatu yang harus dijauhi. Agar kaum muslimin yang senantiasa memegang kuat ajaran Rasulullah SAW tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru. Sebab hal demikian adalah fatal dari segi aqidah. Karena justru merusak apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah serta kesepakatan ulama dan kaum muslimin. Dimana umat islam sepakat bahwa Allah SWT ada tanpa tempat, tanpa arah, dan tidak pula terikat oleh waktu.
Allah SWT tidak butuh terhadap tempat, arah, dan waktu. Sebab tempat, arah, dan waktu justru merupakan sesuatu yang telah Allah ciptakan sendiri. Bila kemudian Allah SWT menciptakan tempat untuk Ia tinggali maka akan banyak menimbulkan kecacatan akidah yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Diantaranya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” (QS. Asy-Syura: 11)
"Allah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu" (QS. Ath-Thalaq : 12)
(RM)
Imam al-Haramain atau Abdul Mulk bin Abdillah al-Juwaini as-Syafi'i (478 H) berkata:
ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﻗﺎﻃﺒﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳَﺘﻌﺎﻟﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴّﺰ ﻭﺍﻟﺘﺨﺼﺺ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺕ - ﺍﻫـ
"Madzhab pengikut kebenaran seluruhnya meyakini bahwa Allah SWT luhur dari keberpihakan dan pengkhususan terhadap arah".
Asy-Syaikh Fakhrudin ar-Razi (606 H) berkata:
ﺍﻧﻌﻘﺪ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻌﻨﺎ ﺑﺎﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺍﻟﺠﻬﺔ ﻭﺍﻟﺤﻴّﺰ - ﺍﻫـ
"Konsensus ulama sepakat bahwa Allah SWT tidak dimaknai dengan bertempat, arah, maupun ruang".
Namun entah bagaimana, saat ini bermunculan faham-faham dari golongan kecil yang menyimpang. Yakni faham yang sering menyangkut-pautkan Allah SWT terhadap tempat dan arah. Dan ini jelas merupakan faham yang sesat serta menyesatkan. Terlebih pengikut faham ini berani mengeluarkan pernyataan "barang siapa yang tidak mengatakan Allah SWT ada di langit, maka ia kafir."
Berikut adalah sebagian contoh dan bukti nyata adanya hal tersebut yang diserukan oleh para pengikut faham yang meyakini bahwa Allah SWT tinggal di langit:
#Fatwa Bin Baz al-Wahabi
ﻭﻻ ﺷﻚ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺃﻧﻜﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻬﻮ ﺟﻬﻤﻲ ﺿﺎﻝ ﻛﺎﻓﺮ ﻣﺠﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ 9/473
"Tidak diragukan lagi sesungguhnya orang yang mengingkari bahwa Allah SWT ada di langit maka ia adalah jahmiy yang sesat nan kafir" [Majmu al-Fatawa 9/473]
#Fatwa Shalih al-Fauzan al-Wahabi
Ditulis dalam website pribadinya dibawah judul ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﻠﻮ ﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ :
"ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻔﻲ ﻛﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻳﻜﺬﺏ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﻜﺬﺏ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻳﻜﺬﺏ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺬﻟﻚ ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﻫﻼ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﻓﺈﻥ ﺃﺻﺮ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻓﺈﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﺍﻟﻌﻴﺎﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ "
"Orang yang mengingkari Allah SWT ada di langit maka ia telah membohongkan al-Qur'an dan as-Sunnah serta Ijma muslimin. Jika ia sudah tahu akan hal ini, maka ia kafir karena keingkarannya tersebut. Jika ia bodoh maka ia harus diberi penjelasan, jika keras kepala setelah dijelaskan, maka ia kafir. Wal 'iyadzu billah".
#Fatwa al-Lajnah ad-Daimah as-Sa'udiyyah al-Wahabiyyah
Dikeluarkan oleh orang-orang berikut: Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz al-Wahabi, Wk: Abdul Rozak Afifi al-Wahabi, Anggota: Abdullah bin Ghadyan al-Wahabi:
ﻣﻦ ﻗﺎﻝ : ﻻ ﻧﻘﻮﻝ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻮﻕ ﻭﻻ ﺗﺤﺖ ﻭﻻ ﻳﻤﻴﻦ ﻭﻻ ﺷﻤﺎﻝ ﻓﻬﻮ ﺑﻬﺬﺍ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻤﺎ ﺩﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻣﻦ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻓﻴﺠﺐ ﺃﻥ ﻳُﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﺈﻥ ﺃﺻﺮ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻣﺮﺗﺪ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻻ ﺗﺼﺢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻔﻪ
"Barang siapa yang mengatakan: 'kami tidak berpendapat bahwa Allah SWT ada di atas, di bawah, di kanan, atau di kiri', maka dengan ucapannya ini ia telah melenceng dari apa yang ditunjukan al-Quran dan as-Sunnah serta kesepakatan muslimin dari sejak masa sahabat yang ahli ilmu dan iman. Maka baginya wajib penjelasan akan kebenaran. Jika masih keras kepala, maka ia kafir dan murtad dari agama islam serta tidak sah shalat di belakangnya".
Contoh kecil dari fatwa-fatwa diatas merupakan sesuatu yang harus dijauhi. Agar kaum muslimin yang senantiasa memegang kuat ajaran Rasulullah SAW tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru. Sebab hal demikian adalah fatal dari segi aqidah. Karena justru merusak apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah serta kesepakatan ulama dan kaum muslimin. Dimana umat islam sepakat bahwa Allah SWT ada tanpa tempat, tanpa arah, dan tidak pula terikat oleh waktu.
Allah SWT tidak butuh terhadap tempat, arah, dan waktu. Sebab tempat, arah, dan waktu justru merupakan sesuatu yang telah Allah ciptakan sendiri. Bila kemudian Allah SWT menciptakan tempat untuk Ia tinggali maka akan banyak menimbulkan kecacatan akidah yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Diantaranya:
- Jika Allah berdiam atau tinggal di suatu tempat, maka berarti Allah SWT memiliki bentuk tertentu yang bisa mendiami tempat, ruang, maupun arah. Jika Allah memiliki bentuk maka Allah memiliki kesamaan dengan makhluk yang juga sama-sama memiliki bentuk, yang tentunya bisa ditangkap oleh indera. Jika Allah memiliki kesamaan dengan makhluk maka ini jelas mustahil. Sebab dalam Q.S. Asy-Syura ayat 11 disebutkan:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Artinya:Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” (QS. Asy-Syura: 11)
- Jika Allah berdiam atau tinggal di suatu tempat maka itu berarti Allah membutuhkan tempat untuk ia tinggali. Jika Allah membutuhkan perkara lain (termasuk tempat), maka Allah tidak maha kuasa karena telah membutuhkan perkara lain yang menunjukan ketidakkuasaannya. Jika Allah tidak maha kuasa, maka berarti Allah lemah. Jika Allah lemah, maka ini jelas mustahil. Sebab akan bertentangan dengan al-Quran yang menyatakan Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kuasa.
- Jika Allah berdiam pada suatu tempat, maka berarti Allah adalah Dzat yang lebih baru dibandingkan dengan "tempat". Sebab sejatinya "tempat" akan ada terlebih dahulu sebelum adanya yang menempati. Dan ini mustahil. Sebab Allah adalah Dzat yang Maha Qadim (terdahulu) dan Maha Awal. Sedangkan tempat adalah sesuatu yang baru, yang diciptakan oleh Allah SWT.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
Artinya:"Allah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu" (QS. Ath-Thalaq : 12)
- Jika kemudian dikatakan: "Allah memang ada sejak Azali, Ia adalah Dzat Yang Maha Qadim dan Maha Awal. Namun kemudian Allah menciptakan tempat, lantas Allah menempati tempat yang telah Ia ciptakan sendiri", maka ini pun jelas keliru dan bathil. Sebab jika demikian, berarti terjadi taghoyyur (perubahan) pada Allah SWT. Artinya Allah berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Semisal yang asalnya Allah terbebas dari tempat, lantas Allah berubah menjadi menempati tempat dan ruang. Ini mustahil. Karena perubahan adalah ciri dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perubahan pasti menimbulkan sesuatu yang baru. Adapun sifat berubah-ubah adalah sifat yang dimiliki oleh makhluk. Maka jelas mustahil Allah SWT memiliki sifat demikian.
(RM)